"Rezeki bisa berupa teman yang
bisa dipercaya saat kita perlu menangis"
Ini adalah hari kedua puluh dari
traveling terlamaku di timur Indonesia. Di
sebuah pulau kecil metropolitan masa penjajahan yang kini tidak terlihat dipeta Indonesia, kecuali
kau zoom 30x dilayar androidmu. Banda
Neira.
Aku menghabiskan waktuku di
sebuah penginapan kecil sederhana, yang pemiliknya memperlakukan aku seperti
kerabat dekat yang telah pergi jauh dan dinanti dengan kerinduan untuk berbagi
cerita. Seorang wanita setengah baya berkulit pucat dan warna bibir beliau
seperti mayat. Pucat kebiruan. Aku telah berbicara dengan nya sekitar tiga
kali selama dua minggu aku dipulau kecil ini.
Dia meminta aku memanggilnya mama.
Dia tidak bisa menelan ludahnya barang setetespun. Ada ember kecil disisi ranjangnya untuk menampung ludah itu.
“mama akan mual dan muntah jika
menelan ludah” katanya. Sambil menekan
sisi kiri perutnya, dia tampak menahan nyeri.
“Mama sudah berobat bahkan sampai
ke Ambon dan Makasar. Banyak obat su
mama makan, tapi sakitnya masih jua”
Lalu beliau bercerita tentang
sakit maag akut beliau, awal rasa sakit itu, tentang betapa menderitanya menjalani
hari-hari berat setelah kepergian sang suami dan pengkhianatan dari orang
terdekat yang dipercaya, tentang senangnya beliau menemukan tempat bercerita
walau hanya sesaat dan akan segera pergi.
Seperti aku saat ini.
Dan saat klakson kapal Ngapulu melengking panjang memasuki teluk Banda. Beliau melepas pelukan eratnya dari punggungku, menyeka air matanya. Saatnya aku meninggalkan pulau kecil bernama Banda Neira. Dan kata-kata terakhir beliau, kata terakhir kepadaku untuk selamanya,
“Terimaksih nak, telah sabar
mendengarkan cerita mama. Sekarang mama
sedikit lega. Pergilah, dan hati-hati”
Beliau mencium pipi kiriku dan
aku mengemas ransel hijauku dan melangkah pergi.
Sekarang beliau tak perlu mual
lagi dan menampung ludah. Mama Banda
(begitu aku ingin memanggilnya) telah pergi menjumpai Rabb nya.
No comments:
Post a Comment