Disini,
dulu disini tete beta kelaparan di hamparan BERLIAN
membayar upeti dinegeri leluhur sendiri
penjajah itu bernama VOC
tete mengasah tombak, walau akhirnya mati ditertembak
tete beta, katanya "katong harus merdeka"
Spice Tour Banda - Naira - Tiga puluh menit dari pulau Naira
menuju pulau Banda Besar, dengan perahu angkutan umum berbayar Lima ribu
rupiah, gw sampai di dermaga kecil bernama Lonthoir. Jauh dari kemewahan, hanya ada dermaga semen
kasar yang melapuk. Lalu turun menuju
jalan kecil perkampungan orang-orang Banda yang rapi dan bersih. Melalui bangunan lama tempat pengasapan
(pengeringan biji pala dengan diasap) para kumpeni, rumah-rumah tua bergaya Belanda
yang masih terawat dan indah. Menaiki
220 anak tangga yang juga peninggalan kumpeni saat menambang Berlian di Banda
Naira.
Lumayan ngos-mgosan naik anak
tangga yang 40 derajad kecuramannya ini.
Sekali lagi, raknyat Banda ini sangat ramah dan baik. Walaupun mereka terlihat sangat lugu,
rata-rata orang Banda berpendidikan. Generasi
tahun 80-an misalnya, mereka rata-rata berpendidikan sarjana.
Cita-cita mereka kalau ga Polisi ya Tentara |
Seperti namanya, spice tour. Gw diajak masuk kebun rempah-rempah. Ada pohon kenari besar-besar, mungkin
sepelukan 5 lelaki dewasa, pohon pala berjejer
dan selang seling pohon yang sudah tua dengan yang lebih muda, selalu
dilakukan peremajaan. Tentunya pohon
pala, cengkeh dan kayu manis. Kenari ditanam
untuk pelindung pohon pala, karena pohon pala tidak tahan jika terpapar panas
sepanjang hari.
Pala, cengkeh dan kayu manis. Ini lah berlian yang menjadi petaka bagi raknyat Banda Naira dimasa silam. Penjajah Belanda datang dengan segala
kelicikannya dibawa bendera VOC. Mulai dari
adu domba, tipu muslihat sampai pembantaian massal mereka lakukan disini. Orang-orang kaya yang punya pengaruh semuanya
dibunuh. Raknyat Banda di usir dari
tanah kelahirannya dan sebagian dijadikan buruh kebun pala dengan upeti yang
mencekik.
Sedangkan harga pala saat itu
setara dengan emas. Kata pak Jamin, tetua raknyat Banda yang sempat gw temui,
itu harga segenggam biji pala dimasa lalu itu setara dengan biaya pulang pergi
Jakarta – Belanda dengan gaya perjalanan mewah ala bangsawan. Gw mulai kesal dengar cerita itu, segitu di
eksploitasinya raknyat Banda masa itu, #asah golok dan kampak, kesal maksimal. Jujur, kemerdekaan adalah hak segala bangsa,
Indonesia ga boleh lagi dijajah, kita harus pertahankkan dan isi kemerdekaan ini #tsah, singsingkan lengan baju #hidup panjat pinang
Kembali dari kebun rempah-rempah,
kami melewati sebuah batu yng sudah dipagari. Blood Stone.
Batu berdarah, yak arena disitulah tempat belanda memungut upeti buruh
kebun pala dimasa laknat itu. Tempat kupeni
memeras keringat dan darah raknyat Banda.
Tambang berlian, yang digagahi ratusan tahun oleh penjajah. Merdeka itu mahal, jendral.
Sebelum mengakhiri spice tour di
terik matahari yang mulai panas, kami meenuju benteng Holandia. Tempat para serdadu kumpeni memantau segala
gerik yang mencurigakan untuk tambang berlian mereka dimasa silam. Pala, Cengkeh dan Kayu manis. Benteng ini sudah melapuk, tua dan nyaris tak
berbentuk. Tapi pemandangan disini
paling juara.
Dari sisi bukit di benteng
Holandia ini, kita bisa melihat gunung Api Banda seutuhnya, melihat landscape
pulau naira yang genit dan kaki pulau Banda Besar yang menggoda. Sungguh, gw sedang jatuh cinta. Banda & Naira.
No comments:
Post a Comment